Taufik Firmanto |
Aksi massa ini ditengarai berawal dari keresahan dan kemarahan masyarakat yang berawal dari SK Bupati Bima nomor: 188.45/357/004/2010 tentang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan eksplorasi kepada PT SMN dengan cakupan luas wilayah tambang dalam SK tersebut adalah 24.980 Ha yang terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Sape, Lambu dan Langgudu.
Sebenarnya ini bukan aksi pertama, eksalasi gerakan penolakan atas tambang di kabupaten Bima sudah berlangsung 2 tahun terakhir. Wera pernah bergolak dengan aksi tolak tambang pasir besinya, Parado pernah berkobar atas penolakan warganya terhadap tambang emasnya, Sape, Langgudu, (yang terkonsentrasi) di Lambu pun pernah membara pada bulan Februari awal tahun lalu yang berakibat ludesnya kantor Camat Lambu serta beberapa kendaraan yang terparkir diganyang si Jago Merah.
Ada hal yang bagi kita cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut terkait pernyataan Bupati Bima (20/11/12) seperti yang diberitakan oleh media:
“Mencabut SK Bupati terkait Pertambangan Lambu tidak bisa kami lakukan, sebab UU sangat jelas mengatur itu, kecuali menghentikan sementara waktu dan UU menetapkan 1 tahun untuk penghentian sementara atas pertambangan yang dimaksud…”
Berkaitan statement tersebut, menurut hemat kami ada semacam “pengelesan” dalam pernyataan Bupati. Dalam kedudukannya sebagai suatu kebijakan tertulis, SK Bupati pada dasarnya dapat digolongkan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Ini bukanlah sebuah putusan yang bersifat final dan tidak bisa dicarikan upaya hukum atasnya, baik berupa pencabutan SK Lama dan digantikan oleh SK baru, atau jika perlu me-PTUN-kan SK tersebut.SK Bupati bukanlah semacam “kitab suci” atau Firman Tuhan yang tidak bisa dianulir jika memang ditemukan sesuatu yang menyimpang dari Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (good governance). Sehubungan dengan kewajiban melaksanakan pelayanan publik bagi pemerintah, cukuplah Sipayung kita jadikan argumen; “Setiap orang mempunyai hak begitu juga kewajiban. Sebagaimana seorang warga negara, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan yang baik dari pemerintah. Tiap orang juga berhak memperoleh perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang dari pejabat tata usaha negara sendiri.”
Hukum, dalam hal ini hukum administrasi negara dalam bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang berwujud SK Bupati Bima Nomor 188.45/357/004/2010
dalam konteks bidang pelayanan publik tidak boleh dipahami sebagai
entitas normatif yang objektif semata, tetapi harus dipahami sebagai dependen variable dari suatu proses sosial politik yang melibatkan sejumlah aktor individu yang berpartisipasi dalam suatu proses.
Masyarakat dana Mbojo bukanlah segerombolan
massa yang tidak mengerti akan hak dan kewajibannya. Dalam kondisi
perkembangan masyarakat yang dinamis, masyarakat semakin cerdas, untuk
itu birokrasi publik harus dapat memberikan layanan yang lebih
profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu,
responsif dan adaptif, serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia
dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara
aktif menentukan masa depannya sendiri. Hal ini seiring dengan
berkembangnya kesadaran bahwa warga negara dalam kehidupan bernegara
bangsa yang demokratik memiliki hak untuk dilayani. Tugas dan sekaligus
wewenang pemerintah untuk bertindak sebagai regulator dan sekaligus
implementator kebijakan.
Di sini kami juga memberikan pandangan,
bahwasanya aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya didasarkan atas suatu dasar yaitu kewenangan. Ada kewenangan
yang diberikan langsung oleh undang-undang dan ada yang diberikan oleh
aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Atas dasar kewenangan inilah yang
harus diwujudkan dalam bentuk upaya membangun tata pemerintahan yang
baik, yang pada hakikatnya mencakup pula upaya membangun sistem nilai
dalam penyelenggaraan pemerintahan yang responsif dan partisipatif,
berdasarkan nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tanpa
harus mengorbankan kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara..
Dalam Negara modern dewasa ini yang dikenal dengan istilah “Welfare State”
atau Negara kesejahteraan, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan
kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk
bertindak menyelesaikan segala aspek/ persoalan yang menyangkut
kehidupan warga negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang
mengaturnya, apalagi jika sudah diatur oleh undang-undang seperti
pernyataan Bupati di atas.
Solusi, Jika Itikad Baik Itu Ada
Ada “Kesaktian” yang sebenarnya dimiliki oleh Bupati jika memang beritikad untuk menegedepankan kepentingan masyarakat Dana Mbojo. Pemerintah
memiliki kewenangan/ kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas
inisiatif sendiri demi kepentingan rakyatnya. Dalam literature Hukum
Administrasi Negara (HAN) itu disebut dengan istilah “Freies Ermessen”. Ada
keleluasaan bergerak yang diberikan kepada administrasi negara
(pemerintah), suatu kebebasan bertindak yang dalam dunia hukum dan
pemerintahan di Indonesia seringkali disebut sebagai diskresi. Istilah
ini sepadan dengan kata freies ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
Namun dalam pelaksanannya terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Batasan
toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang
diberikan oleh Sjahran Basah, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan
administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya
untuk itu; tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral.
Untuk mencapai tujuan bernegara
tersebut maka pemerintah (termasuk pemerintah daerah) berkewajiban
memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti
seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif
berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service)
yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk
mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan
perundang-undangan (rechtsvacuum).
Perubahan yang terjadi di bidang
sosial-kultural dan politik berdampak pada terjadinya pergeseran yang
akan menuju ke paradigma hukum responsif, yang bisa diduga akan dapat
memenuhi tututan dan kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak untuk
memperoleh pelayanan yang berkeadilan sosial. Pergeseran ini berseiring
dengan pergeseran paradigma administrasi publik, menuju ke New Public Service Paradigm yang lebih partisipatif dan berkeadilan.
Pemerintah daerah seharusnya lebih peka dalam
menyerap suara arus bawah. Harus ada upaya untuk lebih mendengarkan
“dengan hati” atas keluhan aspiratif dari bawah. Bupati bisa lebih
sering mendengar secara langsung uneg-uneg masyarakatnya, dan tidak
mencukupkan diri hanya dengan laporan-laporan bawahan yang bersifat
“Asal Bapak Senang”. Wallahu ‘alam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar