EPISTEMOLOGI; Dari Descrates hingga Kant
Sejarawan Barat menganugrahkan gelar Bapak Filsafat Modern kepada Rene Descrates (1596-1650) yang memfomulasikan prinsip cagito ergo sum (Aku berfikir maka aku ada). Dengan prinsip ini Descrates telah menjadikan akal sebagai satu-satunya pengukur kebenaran, hal ini menunnjukkan bahwa dalam pandangan Descrates hanya akal yang mencadi sumber utama pengetahuan (Rasionalisme). Berbeda dengan Descrates, David Hume (1711-1776) menegaskan bahwa panca indera adalah sumber ilmu (Empirisme). Oleh karenanya Hume menyimpulkan bahwa ilmu tidak mungkin dapat diraih (skeptisisme). Immanuel Kant (1724-1809) menjawab skeptisisme Hume dengan pendaptnya yang menyatakan bahwa Knowledge is possible (pengetahuan adalah mungkin) sebabnya, selain wujudnya pernyataan analytic a priori dan synthetic a posteriori terdapat juga pernyataannya synthetic a priori. Bagaimana pun pernyataaan-pernyataan tersebut, Kant tetap menegaskan bahwa metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berdasarkan pancaindera sebab di dalamnya tidak termuat pernyataan-pernyataan synthetic a priori sebagaimana yang terdapat dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar pada fakta empiris. Menurut Kant metafisika merupakan a trancendental illusion (ilusi transenden). Kant menyimpulkan bahwa pernyatan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologi. (Justus Harnack, 1968).
Epistemologi yang berkembang di Barat pada zaman moderent semagin bergulir tajam dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (m. 1831) yang mendapat pengaruh banyak dari filsafat kant dimana Hegel berpendapat bahwa pengetahuan adalah on going process dimana apa yang diketahu dan aku yang mengetahui terus berkembang sehingga tahap yang telah dicapai "sanggal" atau "dinegasi" oleh tahap baru. bukan dalam arti bahwa tahap lama tidak berlaku lagi melainkan tahap yang lama itu dalam pandangan pengetahuan kemudian tampak keterbatasannya. Jadi tahap yang lama tidak benar karena keterbatasan, dengan demikian tidak dapat dianggap sebagai kebenaran. tetapi yang benar dalam penyanggalan harus dipertahankan (Frans Magnes Suseno : 2001)
EPISTEMOLOGI SEKULAR dan ATEISME
Munculnya epistemologi sekular yang mendominasi peradaban Barat modern membawa dampak pada kelahiran faham ateisme. Berbagai disiplin ilmu seperti; teologi, filsafat, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain tidak terlepas dari faham ateisme.
Salah seorang perintis ateisme pada abad modern adalah Ludwing Feurbach (1804-1872) salah seorang murid Hegel yang merupak seorang teolog Kristen, dia menegaskan bahwa prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia sekalipun hal ini disanggal oleh agama dan teologi, namun pada hakikatnya religion that worships man (agamalah yang menyembah manusia. hal ini tidak dapat disangsikan sebab dalam teologi Kristen sendiri menyatakan bahwa God is man, man is God (manusia adalah Tuhan, Tuhan adalah manusia), jadi agama akan menafikan Tuhan jika buka manusia. menurut Feurbach bahwa makna yang sebenarnya dari teologi adalah antropologi (the true sens of Theology is Anthropology) dan bahwa Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind). (Ludwing Feurbach; 1989)
Pendapat Ferurbach di atas mendapat pengaruh pada filsafat Karl Marx (m. 1883) dimana ia berpendapat bahwa Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, ia merupakan suatu roh zaman tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx adalah merupakan faktor sekunder, sedangkan yang primer adalahg ekonomi. (Frans Magnis Suseno; Op.Cit) selain itu Marx sangat memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dimana dari hasil penelitiannya dalam bisang sains ia menyimpulkan bahwa Tuhan tidak memiliki peran dalam penciptaan, bagi Darwin bahwa asal dari segala spesia bukan dari Tuhan melainkan dari "adaptasi lingkungan". menurutnya lagi bahwa Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. semua spesies berasal dari satu nenek moyang yang sama. spesies mejadi berbeda anatara satu dengan yang lain disebabkan natural conditions (Kondisi-kondisi alam) (Charles Robert Darwin: 1958)
Selin dalam teologi dan Antropologi oleh Feurbach,ekonomi oleh Karl Marx, dan Sains oleh Darwin. Faham Ateisme juga berkembang dalam bidang Sosiologi dimana August Comte (1798-1857) seorang penemu istilah "Sosiologi" memandang bahwa keparcayaan terhadap agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. dalam pandangannya masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis yaitu; Fase Teologis yang disebut juga dengan fase fiktif, Fase metafisik yang disebut juga dengan fase abstrak, dan fase saintifik yang disebut juga dengan fase positif. masing-masing fase memiliki ciri yang bertentangan antara satu dengan lainnya dimana pada fase teologis akal manusia menganggap bahwa bahwa fenomena dihasilkan oleh kekuatan gaib. dlam fase metasfisik akal manusia menganggap bahwa fenomena dihasilkan oleh kekuatn-kekuatan abstrak atau entitas yang nyata yang menggantikan kedudukan gaib. dan dalam fase positif akal manusia menyadari bahwa kebenaran yang mutlak tidak mungkin dicapai (Augus Comte: Interduction to Positive Philosphy, 1-2).penolakan Agama oleh Comte ini kemudian diikuti oleh para sociolog dan anthropolog berikutnya seperti Emil Durkheim (m. 1917), dan Herbert Spencer (1820 – 1903), dimana Agama dalam pandangan Spencer bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain. (Jonathan H. Turner; Herbert Spencer; A Renewed Appreciation, 1: 136-138).
Faham Ateiisme ikut mengambil bagian pada bidang Psikologi dimana seorang Psikolog terkemuka Sigmund Freud (m. 1939) menegaskan doktrin-doktrin bahawa Agama adalah ilusi, Agama tidak sesuai dengan realitas dunia, dan hanya karya ilmiyah satu-satunya yang dapat membimbing ke arah ilmu pengetahuan dan bukan Agama. (Sigmund Freud; 1961).
Dalam Bidang Filsafat, kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema sangat lantang dimana Friedrich Nietzsche (1844-1900) dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra menulis: "God died; now we want the overman to live" (Tuhan telah mati; sekarang kami butuh buruh dari manusia untuk hidup) dalam pandangan Nietzsche Agama adalah momentary amelioration and narcoticizing (membuat lebih baik sesaat dan sesaat membiuskan), baginya Agama tidak dapat berseuaian dengan ilmu pengetahuan, dia menyatakan: "seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogam agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran didalam hati dan kepada orang" Nietzsche menceraikan anatara agama dan ilmu pengetahuan dimana ia menyatakan bahwa: "Antara agama dan sains yang betul tidak dapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan; keduanya menetap dibintang yang berbeda" Kritiknya terhadap agama ini ia merujuk secara khusus pada agama Kristen. (Robert C. Holub: 1995).
EPISTEMOLOGI BARAT MODERN dan SEKULARISASI serta LIBERALISASI TEOLOGI KRISTEN DAN YAHUDI
Epistemologi Barat modern selain menghasilkan ateisme, juga melahirkan sekularisasi dan liberalisasi teologi Kristen dan Yahudi, dimana para teolog Kristen abad 20 seperti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Friedrich Gogarten (1887-1967), Paul Van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner Lotte Pelz, Harvey Cox ( yang berpendapat bahwa terdapat tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas untuk disekularisasi: Pertam; disenchantment of nature (Kekecawaan alam) yang dikaitkan denga ceation (penciptaan), kedua; desacralization of politic (Desakealisasi politik) yang dikaitkan dengan exodus kaum Yahudi dari mesir, dan ketiga: deconsecration of values (dekonsekrasi nilai) yang dikaitkan dengan Sinai covenant (perjanjian Sinai).) dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen agar sesuai dengan peradaban modern Barat, mereka menegaskan bahwa ajaran-ajaran Kristiani harus sesuai dengan pandangan hidup sains modern yang sekular. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Meraka membantah sikap Gerejawan yang mengkalaim bahwa Gereja memiliki otoritas sosial, kekuatan dan properti khusus. (Harvey Cox; The Secular City, 1967).
Penolakan mereka tersebut merupakan bentuk peninjauan kembali ajaran-ajaran Kristen agar senantiasa relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern yang sekular (Cox; 1967, bandingkan dengan Adnin Armas; 2003). sekularisasi dan liberalisasi teologi dalam tubuh Kristen menyebabkannya menjadi urusan pribadi dan menjadi pinggiran dalam arus peradaban modern.
POST-MODERNISME; Reaksi
Sebagai reaksi terhadap filsafat modern Barat yang menggunakan akal, muncullah filsafat Post-Modernisme yang menolak kemampuan akal secara a priori untuk mengetahui kebenaran.
Filsafat Post-Modernisme bukan saja mengumandangkan kematian Tuhan tetapi juga sekaligus mematikan manusia. Derrida medekonstruksi logosentrisme dan metafisika kehadiran, Michel Foucault mempopulerkan gagasan power dan genealogy yang membentuk ideologi, epistemologi, diskursus, wacana yang merupakan aturan-aturan a priori yang membentuk pemikiran ataupun tindakan baik individu maupun masyarakat.
Kseimpulan
Epistemologi Barat dari modern hingga post-modern tidak saja sekedar menceraikan hubungan harmonis anatara manusia dan Tuhan tetapi juga telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu.
Sejarawan Barat menganugrahkan gelar Bapak Filsafat Modern kepada Rene Descrates (1596-1650) yang memfomulasikan prinsip cagito ergo sum (Aku berfikir maka aku ada). Dengan prinsip ini Descrates telah menjadikan akal sebagai satu-satunya pengukur kebenaran, hal ini menunnjukkan bahwa dalam pandangan Descrates hanya akal yang mencadi sumber utama pengetahuan (Rasionalisme). Berbeda dengan Descrates, David Hume (1711-1776) menegaskan bahwa panca indera adalah sumber ilmu (Empirisme). Oleh karenanya Hume menyimpulkan bahwa ilmu tidak mungkin dapat diraih (skeptisisme). Immanuel Kant (1724-1809) menjawab skeptisisme Hume dengan pendaptnya yang menyatakan bahwa Knowledge is possible (pengetahuan adalah mungkin) sebabnya, selain wujudnya pernyataan analytic a priori dan synthetic a posteriori terdapat juga pernyataannya synthetic a priori. Bagaimana pun pernyataaan-pernyataan tersebut, Kant tetap menegaskan bahwa metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berdasarkan pancaindera sebab di dalamnya tidak termuat pernyataan-pernyataan synthetic a priori sebagaimana yang terdapat dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar pada fakta empiris. Menurut Kant metafisika merupakan a trancendental illusion (ilusi transenden). Kant menyimpulkan bahwa pernyatan-pernyataan metafisis tidak memiliki nilai epistemologi. (Justus Harnack, 1968).
Epistemologi yang berkembang di Barat pada zaman moderent semagin bergulir tajam dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (m. 1831) yang mendapat pengaruh banyak dari filsafat kant dimana Hegel berpendapat bahwa pengetahuan adalah on going process dimana apa yang diketahu dan aku yang mengetahui terus berkembang sehingga tahap yang telah dicapai "sanggal" atau "dinegasi" oleh tahap baru. bukan dalam arti bahwa tahap lama tidak berlaku lagi melainkan tahap yang lama itu dalam pandangan pengetahuan kemudian tampak keterbatasannya. Jadi tahap yang lama tidak benar karena keterbatasan, dengan demikian tidak dapat dianggap sebagai kebenaran. tetapi yang benar dalam penyanggalan harus dipertahankan (Frans Magnes Suseno : 2001)
EPISTEMOLOGI SEKULAR dan ATEISME
Munculnya epistemologi sekular yang mendominasi peradaban Barat modern membawa dampak pada kelahiran faham ateisme. Berbagai disiplin ilmu seperti; teologi, filsafat, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lain-lain tidak terlepas dari faham ateisme.
Salah seorang perintis ateisme pada abad modern adalah Ludwing Feurbach (1804-1872) salah seorang murid Hegel yang merupak seorang teolog Kristen, dia menegaskan bahwa prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia sekalipun hal ini disanggal oleh agama dan teologi, namun pada hakikatnya religion that worships man (agamalah yang menyembah manusia. hal ini tidak dapat disangsikan sebab dalam teologi Kristen sendiri menyatakan bahwa God is man, man is God (manusia adalah Tuhan, Tuhan adalah manusia), jadi agama akan menafikan Tuhan jika buka manusia. menurut Feurbach bahwa makna yang sebenarnya dari teologi adalah antropologi (the true sens of Theology is Anthropology) dan bahwa Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind). (Ludwing Feurbach; 1989)
Pendapat Ferurbach di atas mendapat pengaruh pada filsafat Karl Marx (m. 1883) dimana ia berpendapat bahwa Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, ia merupakan suatu roh zaman tanpa roh. Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx adalah merupakan faktor sekunder, sedangkan yang primer adalahg ekonomi. (Frans Magnis Suseno; Op.Cit) selain itu Marx sangat memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dimana dari hasil penelitiannya dalam bisang sains ia menyimpulkan bahwa Tuhan tidak memiliki peran dalam penciptaan, bagi Darwin bahwa asal dari segala spesia bukan dari Tuhan melainkan dari "adaptasi lingkungan". menurutnya lagi bahwa Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. semua spesies berasal dari satu nenek moyang yang sama. spesies mejadi berbeda anatara satu dengan yang lain disebabkan natural conditions (Kondisi-kondisi alam) (Charles Robert Darwin: 1958)
Selin dalam teologi dan Antropologi oleh Feurbach,ekonomi oleh Karl Marx, dan Sains oleh Darwin. Faham Ateisme juga berkembang dalam bidang Sosiologi dimana August Comte (1798-1857) seorang penemu istilah "Sosiologi" memandang bahwa keparcayaan terhadap agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. dalam pandangannya masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis yaitu; Fase Teologis yang disebut juga dengan fase fiktif, Fase metafisik yang disebut juga dengan fase abstrak, dan fase saintifik yang disebut juga dengan fase positif. masing-masing fase memiliki ciri yang bertentangan antara satu dengan lainnya dimana pada fase teologis akal manusia menganggap bahwa bahwa fenomena dihasilkan oleh kekuatan gaib. dlam fase metasfisik akal manusia menganggap bahwa fenomena dihasilkan oleh kekuatn-kekuatan abstrak atau entitas yang nyata yang menggantikan kedudukan gaib. dan dalam fase positif akal manusia menyadari bahwa kebenaran yang mutlak tidak mungkin dicapai (Augus Comte: Interduction to Positive Philosphy, 1-2).penolakan Agama oleh Comte ini kemudian diikuti oleh para sociolog dan anthropolog berikutnya seperti Emil Durkheim (m. 1917), dan Herbert Spencer (1820 – 1903), dimana Agama dalam pandangan Spencer bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain. (Jonathan H. Turner; Herbert Spencer; A Renewed Appreciation, 1: 136-138).
Faham Ateiisme ikut mengambil bagian pada bidang Psikologi dimana seorang Psikolog terkemuka Sigmund Freud (m. 1939) menegaskan doktrin-doktrin bahawa Agama adalah ilusi, Agama tidak sesuai dengan realitas dunia, dan hanya karya ilmiyah satu-satunya yang dapat membimbing ke arah ilmu pengetahuan dan bukan Agama. (Sigmund Freud; 1961).
Dalam Bidang Filsafat, kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema sangat lantang dimana Friedrich Nietzsche (1844-1900) dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra menulis: "God died; now we want the overman to live" (Tuhan telah mati; sekarang kami butuh buruh dari manusia untuk hidup) dalam pandangan Nietzsche Agama adalah momentary amelioration and narcoticizing (membuat lebih baik sesaat dan sesaat membiuskan), baginya Agama tidak dapat berseuaian dengan ilmu pengetahuan, dia menyatakan: "seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogam agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran didalam hati dan kepada orang" Nietzsche menceraikan anatara agama dan ilmu pengetahuan dimana ia menyatakan bahwa: "Antara agama dan sains yang betul tidak dapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan; keduanya menetap dibintang yang berbeda" Kritiknya terhadap agama ini ia merujuk secara khusus pada agama Kristen. (Robert C. Holub: 1995).
EPISTEMOLOGI BARAT MODERN dan SEKULARISASI serta LIBERALISASI TEOLOGI KRISTEN DAN YAHUDI
Epistemologi Barat modern selain menghasilkan ateisme, juga melahirkan sekularisasi dan liberalisasi teologi Kristen dan Yahudi, dimana para teolog Kristen abad 20 seperti Karl Barth (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Friedrich Gogarten (1887-1967), Paul Van Buren (m. 1998), Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner Lotte Pelz, Harvey Cox ( yang berpendapat bahwa terdapat tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas untuk disekularisasi: Pertam; disenchantment of nature (Kekecawaan alam) yang dikaitkan denga ceation (penciptaan), kedua; desacralization of politic (Desakealisasi politik) yang dikaitkan dengan exodus kaum Yahudi dari mesir, dan ketiga: deconsecration of values (dekonsekrasi nilai) yang dikaitkan dengan Sinai covenant (perjanjian Sinai).) dan lain-lain memodifikasi teologi Kristen agar sesuai dengan peradaban modern Barat, mereka menegaskan bahwa ajaran-ajaran Kristiani harus sesuai dengan pandangan hidup sains modern yang sekular. Mereka membuat penafsiran baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang menyatakan bahwa ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari alam ini. Meraka membantah sikap Gerejawan yang mengkalaim bahwa Gereja memiliki otoritas sosial, kekuatan dan properti khusus. (Harvey Cox; The Secular City, 1967).
Penolakan mereka tersebut merupakan bentuk peninjauan kembali ajaran-ajaran Kristen agar senantiasa relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern yang sekular (Cox; 1967, bandingkan dengan Adnin Armas; 2003). sekularisasi dan liberalisasi teologi dalam tubuh Kristen menyebabkannya menjadi urusan pribadi dan menjadi pinggiran dalam arus peradaban modern.
POST-MODERNISME; Reaksi
Sebagai reaksi terhadap filsafat modern Barat yang menggunakan akal, muncullah filsafat Post-Modernisme yang menolak kemampuan akal secara a priori untuk mengetahui kebenaran.
Filsafat Post-Modernisme bukan saja mengumandangkan kematian Tuhan tetapi juga sekaligus mematikan manusia. Derrida medekonstruksi logosentrisme dan metafisika kehadiran, Michel Foucault mempopulerkan gagasan power dan genealogy yang membentuk ideologi, epistemologi, diskursus, wacana yang merupakan aturan-aturan a priori yang membentuk pemikiran ataupun tindakan baik individu maupun masyarakat.
Kseimpulan
Epistemologi Barat dari modern hingga post-modern tidak saja sekedar menceraikan hubungan harmonis anatara manusia dan Tuhan tetapi juga telah melenyapkan Wahyu sebagai sumber ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar