Kata saya polisi ya polisi. Polisi jangan berpolitik. Jika polisi ikut-ikutan berpolilitik, maka polisi akan selamanya membebek pada penguasa.
Polisi harus tetap menjadi polisi, mengatasi segala problema yang ada di masyarakat, menengahi permasalahan, mengatasi konflik, dan membawa kedamaian. Terhadap masyarakat, polisi harus bisa menunjukkan ruang kerja yang profesional, kooperatif dan elegan.
Saat ini problema polisi yang paling utama bukan soal kriminal. Justru masalah kriminal saya anggap sudah selesai. Untuk penanganan kriminal polisi sudah menunjukkan kinerja yang baik. Polisi tanggap, cepat, dan terarah. Hanya saja yang menjadi masalah adalah faktor sosial.
Di sisi ini polisi selalu lemah. Saya melihat polisi kita belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial. Sistem monitoring yang diterapkan polisi acapkali tidak berjalan alias jalan di tempat. Akibatnya banyak masyarakat yang dirugikan baik materi maupun non materi.
Permasalahan yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat kerapkali membuat polisi memble. Menghadapi situasi seperti itu, polisi hanya bisa lepas tangan. Konflik agama di Poso adalah bukti betapa lemahnya pengamanan polisi menghadapi problema sosial.
Begitu juga kerusuhan di Kabupaten Buol yang menewaskan delapan orang baru-baru ini, sekali lagi itu merupakan bukti lemahnya penindakan polisi. Apalagi polisi sampai terdorong melakukan tindakan anarkis dan kekerasan. Itu sama sekali bukan prinsip polisi.
Polisi, saya menilainya, terlalu lamban mengatasi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan adat, budaya, suku dan agama. Padahal di negeri ini peradaban masyarakat begitu kokoh dan kuat. Peradaban, bagi bangsa adalah suatu pencitraan, pengenalan atau identitas. Jika tanda itu dirusak, maka identitas bangsa ini bisa hilang.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa polisi tidak bisa mengatasi permasalahan yang menyangkut masalah sosial?
Itu karena polisi tidak profesional. Polisi sering tergesa-gesa dalam mengambil setiap tindakan. Polisi tidak pernah memikirkan terlebih dahulu mana-mana yang harus didahulukan. Parahnya, polisi tidak tanggap terhadap potensi-potensi konflik.
Sebagai contoh, saya sering kali melakukan demo bersama teman-teman di Surabaya. Tapi apa yang dilakukan polisi, sama sekali tidak ada. Masih untung polisi diam, yang ada malah polisi bersikap acuh tak acuh. Seolah masalah kecil bukan sesuatu yang patut menjadi perhatian. Padahal dari yang kecil itu biasanya timbul masalah sosial. Saya sendiri heran dengan sikap polisi yang kurang bisa menempatkan dirinya pada porsi-porsi yang ideal. Kadang, cara berpikir mereka kurang luas.
Padahal problem polisi bukan sekedar crime saja, masih banyak problem nyata yang dihadapi polisi justru kian multi. Siklus yang terjadi di masyarakat menunjukkan jika polisi belum mampu menjaga nilai-nilai historis sosial. Polisi, menurut saya, belum mampu menjadi penyangga keadilan.
Akibatnya apa, banyak terjadi konspirasi sistem. Kerja inteligen atau biasa dikenal kerja ganda pun muncul. Polisi bukannya menjadi polisi, tapi kewenangannya semakin tidak jelas. Polisi bisanya hanya membebek pada penguasa. Masalah sosial pun kerap dijadikan (jalan) isu-isu pengalihan. Ini sangat berbahaya.
Seperti yang kita lihat pada kasus Ahmadiyah, berapa besar kepedulian polisi terhadap kelompok Ahmadiyah. Tidak ada. Padahal bila ditilik, kasus Ahmadiyah kelak bisa mendatangkan konflik yang lebih besar bagi peradaban bangsa ini. Dan sekali lagi, polisi hanya bisa menjadi penonton. Kalau pun turun tangan, bisanya cuma menghalang-halangi tanpa bertindak sedikit pun.
Contoh kasus paling konkret adalah kasus Front Pembela Islam (FPI) yang sering kali menimbulkan keresahan di masyarakat. Saya tidak bilang FPI buruk, mungkin oknumnya saja. Banyak oknum FPI yang beberapa kali melakukan tindak kekerasan tapi justru dibiarkan begitu saja tanpa ada proses hukum yang kuat. Padahal kasus-kasus semacam itu sangat berpotensi terhadap konflik-konflik sosial. Tapi polisi malah membiarkannya.
Polisi, dari pengamatan saya, mereka selama ini selalu berperan ganda dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Bukannya permasalahan sosial selesai, tapi justru semakin parah.
Jika keadaan tersebut dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin negeri ini akan dibanjiri darah, seperti yang terjadi di daerah-daerah konflik di Indonesia.
Menurut saya, mulai saat ini polisi harus belajar melihat situasi. Memelototi setiap gerak isu yang mulai merebak di masyarakat. Jangan hanya berspekulasi tapi tidak berbuat apa-apa.
Ke depannya, polisi harus bisa menjaga etika terhadap rakyat. Polisi harus mulai berdamai dengan keadaan. Jangan biarkan satu keadaan berlarut-larut hingga merembet ke keadaan lainnya. Satu dulu diurus, baru yang lain. Satu dulu selesai, baru selesaikan yang lain. Bahkan kalau bisa, lakukan tindakan preventif (pencegahan) sedini mungkin.
Dari dalam internal kepolisian, polisi sudah waktunya memperbaiki diri. Perbaikan bisa dimulai dari atas ke bawah (regulatif) atau dari bawah ke atas (karakteristik). Secara regulatif, perbaikan yang dimulai dari atasan bisa dilakukan dengan cara, atasan memberi contoh yang baik terhadap bawahan. Sebaliknya secara karakteristik, bawahan juga harus mengingatkan atasan jika memang kedapatan bersalah. Yang jelas, saat ini Polri kita butuh perbaikan secara menyeluruh. Dan itu bisa dilakukan jika polisi mau terbuka terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat.

Polisi harus tetap menjadi polisi, mengatasi segala problema yang ada di masyarakat, menengahi permasalahan, mengatasi konflik, dan membawa kedamaian. Terhadap masyarakat, polisi harus bisa menunjukkan ruang kerja yang profesional, kooperatif dan elegan.
Saat ini problema polisi yang paling utama bukan soal kriminal. Justru masalah kriminal saya anggap sudah selesai. Untuk penanganan kriminal polisi sudah menunjukkan kinerja yang baik. Polisi tanggap, cepat, dan terarah. Hanya saja yang menjadi masalah adalah faktor sosial.
Di sisi ini polisi selalu lemah. Saya melihat polisi kita belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan sosial. Sistem monitoring yang diterapkan polisi acapkali tidak berjalan alias jalan di tempat. Akibatnya banyak masyarakat yang dirugikan baik materi maupun non materi.
Permasalahan yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat kerapkali membuat polisi memble. Menghadapi situasi seperti itu, polisi hanya bisa lepas tangan. Konflik agama di Poso adalah bukti betapa lemahnya pengamanan polisi menghadapi problema sosial.
Begitu juga kerusuhan di Kabupaten Buol yang menewaskan delapan orang baru-baru ini, sekali lagi itu merupakan bukti lemahnya penindakan polisi. Apalagi polisi sampai terdorong melakukan tindakan anarkis dan kekerasan. Itu sama sekali bukan prinsip polisi.
Polisi, saya menilainya, terlalu lamban mengatasi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan adat, budaya, suku dan agama. Padahal di negeri ini peradaban masyarakat begitu kokoh dan kuat. Peradaban, bagi bangsa adalah suatu pencitraan, pengenalan atau identitas. Jika tanda itu dirusak, maka identitas bangsa ini bisa hilang.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa polisi tidak bisa mengatasi permasalahan yang menyangkut masalah sosial?
Itu karena polisi tidak profesional. Polisi sering tergesa-gesa dalam mengambil setiap tindakan. Polisi tidak pernah memikirkan terlebih dahulu mana-mana yang harus didahulukan. Parahnya, polisi tidak tanggap terhadap potensi-potensi konflik.
Sebagai contoh, saya sering kali melakukan demo bersama teman-teman di Surabaya. Tapi apa yang dilakukan polisi, sama sekali tidak ada. Masih untung polisi diam, yang ada malah polisi bersikap acuh tak acuh. Seolah masalah kecil bukan sesuatu yang patut menjadi perhatian. Padahal dari yang kecil itu biasanya timbul masalah sosial. Saya sendiri heran dengan sikap polisi yang kurang bisa menempatkan dirinya pada porsi-porsi yang ideal. Kadang, cara berpikir mereka kurang luas.
Padahal problem polisi bukan sekedar crime saja, masih banyak problem nyata yang dihadapi polisi justru kian multi. Siklus yang terjadi di masyarakat menunjukkan jika polisi belum mampu menjaga nilai-nilai historis sosial. Polisi, menurut saya, belum mampu menjadi penyangga keadilan.
Akibatnya apa, banyak terjadi konspirasi sistem. Kerja inteligen atau biasa dikenal kerja ganda pun muncul. Polisi bukannya menjadi polisi, tapi kewenangannya semakin tidak jelas. Polisi bisanya hanya membebek pada penguasa. Masalah sosial pun kerap dijadikan (jalan) isu-isu pengalihan. Ini sangat berbahaya.
Seperti yang kita lihat pada kasus Ahmadiyah, berapa besar kepedulian polisi terhadap kelompok Ahmadiyah. Tidak ada. Padahal bila ditilik, kasus Ahmadiyah kelak bisa mendatangkan konflik yang lebih besar bagi peradaban bangsa ini. Dan sekali lagi, polisi hanya bisa menjadi penonton. Kalau pun turun tangan, bisanya cuma menghalang-halangi tanpa bertindak sedikit pun.
Contoh kasus paling konkret adalah kasus Front Pembela Islam (FPI) yang sering kali menimbulkan keresahan di masyarakat. Saya tidak bilang FPI buruk, mungkin oknumnya saja. Banyak oknum FPI yang beberapa kali melakukan tindak kekerasan tapi justru dibiarkan begitu saja tanpa ada proses hukum yang kuat. Padahal kasus-kasus semacam itu sangat berpotensi terhadap konflik-konflik sosial. Tapi polisi malah membiarkannya.
Polisi, dari pengamatan saya, mereka selama ini selalu berperan ganda dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Bukannya permasalahan sosial selesai, tapi justru semakin parah.
Jika keadaan tersebut dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin negeri ini akan dibanjiri darah, seperti yang terjadi di daerah-daerah konflik di Indonesia.
Menurut saya, mulai saat ini polisi harus belajar melihat situasi. Memelototi setiap gerak isu yang mulai merebak di masyarakat. Jangan hanya berspekulasi tapi tidak berbuat apa-apa.
Ke depannya, polisi harus bisa menjaga etika terhadap rakyat. Polisi harus mulai berdamai dengan keadaan. Jangan biarkan satu keadaan berlarut-larut hingga merembet ke keadaan lainnya. Satu dulu diurus, baru yang lain. Satu dulu selesai, baru selesaikan yang lain. Bahkan kalau bisa, lakukan tindakan preventif (pencegahan) sedini mungkin.
Dari dalam internal kepolisian, polisi sudah waktunya memperbaiki diri. Perbaikan bisa dimulai dari atas ke bawah (regulatif) atau dari bawah ke atas (karakteristik). Secara regulatif, perbaikan yang dimulai dari atasan bisa dilakukan dengan cara, atasan memberi contoh yang baik terhadap bawahan. Sebaliknya secara karakteristik, bawahan juga harus mengingatkan atasan jika memang kedapatan bersalah. Yang jelas, saat ini Polri kita butuh perbaikan secara menyeluruh. Dan itu bisa dilakukan jika polisi mau terbuka terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar