Korupsi menjadi masalah besar di negeri ini. Bahkan menyeret nama-nama orang besar yang berada di tahta singgasana kekuasaan sekalipun. Tapi kadang nama itu akan raib dengan sendirinya, entalah kemana pergi. Tiba-tiba datanglah derajat kemuliaan SP3 bagi si pelaku. Bahkan yang lucunya lagi setiap tahun terdapat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dinyatakan ada unsur kerugian negara, maka harus ada tersangkanya, tetapi dalam kenyataannya aparat penegak hukum tidak melaksanakan kegiatan proses hukum. Kalaupun proses hukum dilaksanakan, sepertinya sekedar formolitas saja. Buktinya sekian banyak koruptor di negeri ini terutama di kalangan birokrasi pemerintahan, tapi akhirnya mereka diloloskan dari jeratan hukuman, lalu kemudian kembali menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Penurut Pienulis Negara ini adalah negara hukum, yang dalam kesehariannya menuntun masyarakat untuk taat pada hukum, tetapi dalam realitasnya tidak sebagaimana yang diharapkan. Aparatur mempertontonkan cara pelayanan yang korup di hadapan masyarakatnya sendiri. Bahkan masyarakat diajak oleh aparatur untuk menyaksikan cara pelayanan yang kurup seperti pemberian KTP yang seharusnya gratis, ternyata terjadi tagihan. Transaksi yang bernilai jutaan rupiah dengan tujuan meloloskan seseorang jadi CPNS. Begitu pula secara terang-terangan Polisi memungut biaya pelanggaran lalulintas yang tidak menjadi rahasisa umum lagi serta contoh-contoh lain yang tak dapat disebutkan satu-persatu. Dus dalam konteks Polisi ini Satjipto Rahardjo menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Membangun Polisi Sipil” bahwa, sebelum menjadi pilisi seorang anggota kepolisian sebaiknya “ menjadi orang sipil terlebih dahulu”. Artinya, ia ditunut untuk lebih dahulu menghayati bagaimana kebutuhan, perasaan, pikiran dari seorang anggota masyarakat biasa, pada saat ia menjadi anggota kepolisian, ia akan mengerti benar tentang bagaimana seorang anggota masyarakat ingin diperlakukan oleh polisinya. Polisi pada hakikatnya adalah warga negara biasa yang berseragam ( a civilian in univorm) ( Satjito Rahardjo, 2007). Masih dalam konteks poilisi, tulisan Kunarto yang dikutip Drs.H.Pudi Rahardi,MH, dalam bukunya “Hukum Kepolisian, Profesionalisme dan Reformasi Polri menjelaskan bahwa, salah satu hasil kongres memberian petunjuk bahwa perlu pengembangan organ dan fungsi kepolisian yang berwajah baru sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal itu dimaksudkan untuk membatasi polisi dalam menjalankan kekuasaan atas nama negara, sehingga perlu mengurangi kewenangan yang bersifat “deposit” dengan mengedepankan jangkauan sebagai communiity sevices dan sebagai abdi masyarakat.....agar Polri kembali kepada peranannya sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. (Pudi Rahardi, 2007)
Oleh karena itu, menurut Penulis, semestinya pemberantasan korupsi dimulai dari aparatur terbawah, sebab korupsi yang dilakukan di aparatur terbawah adalah terpelihara secara struktural dan sudah memakan waktu yang lama. Bahkan menurut sebagian kalangan korupsi adalah masalah budaya sebagaimana yang disinyalir dalam buku Panduan Bantuan Indonesia bahwa korupsi telah membudaya sangat mempengaruhi penegakan dan penerapan hukum. Ketentuan batasan waktu untuk menjawab permohonan banyak sekali dilanggar oleh aparat birokrasi dan aparat hukum. Jawaban terhadap permohonan bisa lebih cepat dari batas waktu maksimal apabila pemohon menyertakan uang pelicin. Sebaliknya, permohonan bisa dijawab melewat batas waktu maksimal manakala pemohon tidak memberikan uang pelican. Perkara bisa “di peti-es kan” apabila tersangka atau keluarga menyodorkan sejumlah uang kepada aparat penegak hukum. Semua orang membuka mata melihat Korupasi yang merajalela di negeri ini, suatu negeri yang penduduknya mayoritas di huni oleh pemeluk agama-agama samawi. Menurut Baharudin Lopa, pendekar hukum yang disegani itu. Dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Lopa dengan lugas menyebut praktik suap sebagai salah satu bentuk korupsi yang hanya bisa diperangi dengan cara kembali ke jalan agama dan etika. Lain lagi dengan pendapat Prof.Dr.Achmad Ali,SH;MH yang menetujui pendapat Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH. Sebagaimana terulis dalam bukunya Kerpurukan hukum di Indonesia,(Achmad Ali 2001), bahwa sudah waktunya bangsa Indonesia mencanangkan bahaya korupsi sebagai keadaan darurat. Karena keadaannya darurat, maka juga mesti ditangani dengan cara berpikir darurat, cara bertindak darurat. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa para pihak yang harus betindak darurat adalah aparatur negara yang menempati posisi sebagai penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa dan hakim. Ketiga komponen ini memiliki otoritas untuk menentukan darurat atau tidak. Akan tetapi selama reformasi berlangsung sampai saat ini belum juga ditemukan aparat penegak hukum yang menyuarakan penanganan bahaya korupsi secara darurat. Oleh karena itu sangatlah benar apa yang tulis Satjipto Rahardjo dalam buku Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum bahwa selama ini ia belum pernah melihat orang yang melakukan studi kasus mengenai fenomena kepastian hukum. “Dimensi kekuatan hukum masih belum menjadi masalah substansional dalam kajian dan pembelajaran hukum selama ini. Peranan teks hukum atau perundang-undangan masih sangat diutamakan sehingga belajar hukum hampir identik dengan belajar teks perundang-undangan. Ilmu pengetahuan selalu diharapkan dapat memberi panduan pada saat masyarakat dan bangsa dalam menghadapi persoalan, apalagi persoalan besar. Ilmu pengetahuan hukum juga akan selalu dicari masyarakat sebagai sumber yang mampu memberi panduan, pemecahan, dan jalan keluar di saat menghadapi persoalan besar maupun kecil. Kesulitan muncul pada waktu Indonesia berada dalam krisis dan keadaan luar biasa. Teks hukum yang menjadi andalan dalam bernegara hukum tidak mampu berbicara dan membedakan antara keadaan biasa dan luar biasa. Teks itu diam, statis, dan status quo sentris. Teks hukum tidak memiliki kepekaan untuk merasakan adanya sesuatu yang berubah. Hukum tidak mampu mengubah dirinya sendiri. Hukum tetap menurut teks yang sama, kecuali diubah oleh legislatif. Hukum tidak dapat menyadari bahwa kalimat-kalimatnya sudah tidak mampu lagi untuk menghadapi situasi atau tantangan yang berubah. Hanya manusialah yang dapat merasakan bahwa hukum sekarang dihadapkan pada keadaan luar biasa. Akan tetapi, manusia tidak dapat bertindak menurut kemauannya sendiri, melainkan harus melalui jalur hukum. (Satjipto Rahardjo,2009). Penulis teringat di tahun 2004 yang lalu Prof.Achmad Ali pernah menulis dalam bukunya “Meluruskan Jalan Reformasi Hukum” di halaman 56 menyebutkan bahwa, Saya ingin melengkapi kalimat Taverne, dan menyatakan “Biarkanlah saya seorang polisi yang jujur, cerdas dan berani, biarkanlah saya seorang jaksa yang jujur, cerdas dan berani, biarlah saya seorang hakim yang jujur, cerdas dan berani, maka dengan undang-undang yang paling buruk pun saya akan mewujudkan keadilan yang tertinggi. ( Achmad Ali,2004).
Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khususnya semasa Orde Baru, dimana birokrasi dijadikan sebagai mesin politik. Imblas dari kesemuanya ini masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, biaya, siapa yang menjadi penanggung jawab adalah merupakan beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan.
Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universital Airlangga Ramlan Subarki mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang bentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai Pangren Praja dari pada Pamong Praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim orde baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan.
Korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat diatas bumi ini, yang menjadi masalah utama adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam pengalaman yang memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa, maka semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi.
Penurut Pienulis Negara ini adalah negara hukum, yang dalam kesehariannya menuntun masyarakat untuk taat pada hukum, tetapi dalam realitasnya tidak sebagaimana yang diharapkan. Aparatur mempertontonkan cara pelayanan yang korup di hadapan masyarakatnya sendiri. Bahkan masyarakat diajak oleh aparatur untuk menyaksikan cara pelayanan yang kurup seperti pemberian KTP yang seharusnya gratis, ternyata terjadi tagihan. Transaksi yang bernilai jutaan rupiah dengan tujuan meloloskan seseorang jadi CPNS. Begitu pula secara terang-terangan Polisi memungut biaya pelanggaran lalulintas yang tidak menjadi rahasisa umum lagi serta contoh-contoh lain yang tak dapat disebutkan satu-persatu. Dus dalam konteks Polisi ini Satjipto Rahardjo menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Membangun Polisi Sipil” bahwa, sebelum menjadi pilisi seorang anggota kepolisian sebaiknya “ menjadi orang sipil terlebih dahulu”. Artinya, ia ditunut untuk lebih dahulu menghayati bagaimana kebutuhan, perasaan, pikiran dari seorang anggota masyarakat biasa, pada saat ia menjadi anggota kepolisian, ia akan mengerti benar tentang bagaimana seorang anggota masyarakat ingin diperlakukan oleh polisinya. Polisi pada hakikatnya adalah warga negara biasa yang berseragam ( a civilian in univorm) ( Satjito Rahardjo, 2007). Masih dalam konteks poilisi, tulisan Kunarto yang dikutip Drs.H.Pudi Rahardi,MH, dalam bukunya “Hukum Kepolisian, Profesionalisme dan Reformasi Polri menjelaskan bahwa, salah satu hasil kongres memberian petunjuk bahwa perlu pengembangan organ dan fungsi kepolisian yang berwajah baru sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal itu dimaksudkan untuk membatasi polisi dalam menjalankan kekuasaan atas nama negara, sehingga perlu mengurangi kewenangan yang bersifat “deposit” dengan mengedepankan jangkauan sebagai communiity sevices dan sebagai abdi masyarakat.....agar Polri kembali kepada peranannya sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. (Pudi Rahardi, 2007)
Oleh karena itu, menurut Penulis, semestinya pemberantasan korupsi dimulai dari aparatur terbawah, sebab korupsi yang dilakukan di aparatur terbawah adalah terpelihara secara struktural dan sudah memakan waktu yang lama. Bahkan menurut sebagian kalangan korupsi adalah masalah budaya sebagaimana yang disinyalir dalam buku Panduan Bantuan Indonesia bahwa korupsi telah membudaya sangat mempengaruhi penegakan dan penerapan hukum. Ketentuan batasan waktu untuk menjawab permohonan banyak sekali dilanggar oleh aparat birokrasi dan aparat hukum. Jawaban terhadap permohonan bisa lebih cepat dari batas waktu maksimal apabila pemohon menyertakan uang pelicin. Sebaliknya, permohonan bisa dijawab melewat batas waktu maksimal manakala pemohon tidak memberikan uang pelican. Perkara bisa “di peti-es kan” apabila tersangka atau keluarga menyodorkan sejumlah uang kepada aparat penegak hukum. Semua orang membuka mata melihat Korupasi yang merajalela di negeri ini, suatu negeri yang penduduknya mayoritas di huni oleh pemeluk agama-agama samawi. Menurut Baharudin Lopa, pendekar hukum yang disegani itu. Dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Lopa dengan lugas menyebut praktik suap sebagai salah satu bentuk korupsi yang hanya bisa diperangi dengan cara kembali ke jalan agama dan etika. Lain lagi dengan pendapat Prof.Dr.Achmad Ali,SH;MH yang menetujui pendapat Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH. Sebagaimana terulis dalam bukunya Kerpurukan hukum di Indonesia,(Achmad Ali 2001), bahwa sudah waktunya bangsa Indonesia mencanangkan bahaya korupsi sebagai keadaan darurat. Karena keadaannya darurat, maka juga mesti ditangani dengan cara berpikir darurat, cara bertindak darurat. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa para pihak yang harus betindak darurat adalah aparatur negara yang menempati posisi sebagai penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa dan hakim. Ketiga komponen ini memiliki otoritas untuk menentukan darurat atau tidak. Akan tetapi selama reformasi berlangsung sampai saat ini belum juga ditemukan aparat penegak hukum yang menyuarakan penanganan bahaya korupsi secara darurat. Oleh karena itu sangatlah benar apa yang tulis Satjipto Rahardjo dalam buku Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum bahwa selama ini ia belum pernah melihat orang yang melakukan studi kasus mengenai fenomena kepastian hukum. “Dimensi kekuatan hukum masih belum menjadi masalah substansional dalam kajian dan pembelajaran hukum selama ini. Peranan teks hukum atau perundang-undangan masih sangat diutamakan sehingga belajar hukum hampir identik dengan belajar teks perundang-undangan. Ilmu pengetahuan selalu diharapkan dapat memberi panduan pada saat masyarakat dan bangsa dalam menghadapi persoalan, apalagi persoalan besar. Ilmu pengetahuan hukum juga akan selalu dicari masyarakat sebagai sumber yang mampu memberi panduan, pemecahan, dan jalan keluar di saat menghadapi persoalan besar maupun kecil. Kesulitan muncul pada waktu Indonesia berada dalam krisis dan keadaan luar biasa. Teks hukum yang menjadi andalan dalam bernegara hukum tidak mampu berbicara dan membedakan antara keadaan biasa dan luar biasa. Teks itu diam, statis, dan status quo sentris. Teks hukum tidak memiliki kepekaan untuk merasakan adanya sesuatu yang berubah. Hukum tidak mampu mengubah dirinya sendiri. Hukum tetap menurut teks yang sama, kecuali diubah oleh legislatif. Hukum tidak dapat menyadari bahwa kalimat-kalimatnya sudah tidak mampu lagi untuk menghadapi situasi atau tantangan yang berubah. Hanya manusialah yang dapat merasakan bahwa hukum sekarang dihadapkan pada keadaan luar biasa. Akan tetapi, manusia tidak dapat bertindak menurut kemauannya sendiri, melainkan harus melalui jalur hukum. (Satjipto Rahardjo,2009). Penulis teringat di tahun 2004 yang lalu Prof.Achmad Ali pernah menulis dalam bukunya “Meluruskan Jalan Reformasi Hukum” di halaman 56 menyebutkan bahwa, Saya ingin melengkapi kalimat Taverne, dan menyatakan “Biarkanlah saya seorang polisi yang jujur, cerdas dan berani, biarkanlah saya seorang jaksa yang jujur, cerdas dan berani, biarlah saya seorang hakim yang jujur, cerdas dan berani, maka dengan undang-undang yang paling buruk pun saya akan mewujudkan keadilan yang tertinggi. ( Achmad Ali,2004).
Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khususnya semasa Orde Baru, dimana birokrasi dijadikan sebagai mesin politik. Imblas dari kesemuanya ini masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, biaya, siapa yang menjadi penanggung jawab adalah merupakan beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan.
Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universital Airlangga Ramlan Subarki mengenai fenomena birokrasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang bentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai Pangren Praja dari pada Pamong Praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi. Pada rezim orde baru, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan.
Korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat diatas bumi ini, yang menjadi masalah utama adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam pengalaman yang memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa, maka semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar