Kamis, 07 April 2011

Menjadi Mahasiswa Sejati

MULANYA adalah gelisah, ujungnya hasrat untuk berkuasa. Pagi itu, secangkir kopi hitam akrab di bibir kita; sambil ngagosip Socrates. DPR yang sepi, tiba-tiba riuh oleh kegelisahan sekumpulan mahasiswa dalam pelbagai atribut, berarak-arak, berteriak-teriak di atas microfon-satu suara. Dengan rasa heran kita bertanya; inikah para mahasiswa revolusioner, siapakah mereka? Kenapa disebut sang pembaharu-sebuah tanya dalam arate pergerakan. Kenapa kampus ini? Rutinitas kuliah masih berjalan sebagaimana mestinya, setiap tahun ritual wisuda masih dirayakan. Kenapa?
Kampus UIN sedang sakit, katanya; “mahasiswa sejati-simbol pendobrak kezumudan” adalah ramuan yang ampuh menjungkirbalikan keadaan. Apakah kesimpulan itu dilahirkan dari dialektika-kesadaran, atau sekedar memenuhi thelos sang pemimpin. Radikal adalah cara merobohkan hegemoni kuasa-will to power; jerembab me-manusia-kan manusia. Kita terlanjur menganut ritus moralitas absolut. Nietzsche; berteriak dalam kubur; “nihilistik, jalan menjadi manusia sejati-Übermensch.” Bahkan Sartre mengamini, “manusia mesti melepaskan segala ikatan-Tuhan, agama-mereka adalah neraka, jika ingin menjadi manusia utuh.” Apakah mereka sadar; revolusi memerlukan teori, strategi, dan organisasi, dan menyusun kekuatan, itu semua memerlukan keringat dan kesabaran; ucap Gunawan Muhammad. Manusia Ada sekedar menyadari akan batas, bukan untuk melampaui batas; takdir selalu diotak-atik demi hasrat melampiaskan libido. “Haruskah mereka tidak menjadi dirinya sendiri?” sampai kapan.
Jika Socrates masih hidup, maka akan tertawa terbahak, berceloteh; apa itu perubahan? Apa itu makna kesejatian? Manusia masa (dasmen), itulah mereka; selalu mengekalkan kenyamanan. Cemas bertaut dengan sepi, terpenjara oleh citraan static; beronani ala retorika shopis; kami tahu bagaimana merubah UIN. Socrates mengajarkan; gnoti seauthon; bagaimana menjadi diri sendiri; bukan menjadi yang lain. Menjadi mahasiswa sejati; adalah merumuskan kemeng-ada-an sebagai mahasiswa. Ingatkah, Socrates tak pernah berkerumun-mengikatkan diri pada serangkain himpunan. Ia berdiri sendiri-seperti lalat yang menggigit kuda yang lambat; semua belum selesai, banyak yang mesti dipetanyakan. “Saya tahu, bahwa saya tidak tahu apa-apa”, gumam Socrates.
Kesetiaan pada kebenaran terkadang ironis; sebab ia tak mau berkompromi lewat seperangkat ritus kemapanan serta keserbatuntasan hidup. Sudikah mereka membuka diri dengan menguji setiap konklusi yang sudah ajeg dalam keyakinan. Sudahkah kita pertanyakan, kenapa kita berkerumun; berteriak? Padahal mereka dituntut menuntaskan status mahasiswa. Hasrat mengubah dunia hanya bergumpal di ulu otak. Socrates hadir demi menyadarkan kita. Tak ada sesuatupun dari Socrates yang bisa diharapkan, dia tidak bermaksud memberi apa-apa. Kita sendiri mesti membangun diri, menemukan kebenaran. Mempertanyakan adalah cara mengungkap kebenaran meski diasingkan atau harus meregang nyawa. Layakkah kita hidup, tanpa mempertanyakannya? Ada-kah kita tanpa berfikir?
Mungkin, kita tak pernah tuntas membaca Hegel, Marx, atau mazhab Frankfurt. Kemudian lupa; tak pernah dituntut membaca-diri. Socrates mati demi mematwakan kebenaran. Jikalau Socrates mau berkompromi dengan putusan juri, mungkin dia tak sefenomenal sekarang. Tapi demi ‘menyelamatkan jiwanya ‘ dan keengganan berhenti melakukan aktifitas filsafat. Namun, Socrates menentukan nasibnya sendiri dengan meminum racun cemara.
Akhirnya mereka diajak melupakan tujuan muasal. Keberulangan mewujud; DPR kembali sepi. Kopi, tinggal ampas, lalu; kita dan mereka kembali pada kebanalan diri masing-masing.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar