Sabtu, 19 Maret 2011

Balas Jasa dan Balas Dendam

Apa jadinya jika pemerintahan diurus oleh orang yang mengandalkan citra? Betapa malangnya nasib suatu masyarakat yang menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah yang gila pencitraan, Pilkada hanya menjadi ajang menjual citra kandidat.Setelah terpilih, mereka sibuk menjaga citra lewat gerakan politik pencitraan. Pilkada, yang sejatinya melahirkan pemimpin berkarakter sesuai pilihan rakyat dan mengemban misi suci untuk mensejahterakan kepentingan rakyat malah justru berujung menyengsarakan.
Politik pencitraan sepatutnya menjadi fokus perhatian kelas menengah agar tidak terseret dalam arus dan permainan elit politik negeri.
Sayangnya, kelas menengah kadang masih sering terjebak oleh gaya politik pencitraan para elit baik itu di pusat maupun di daerah. Keluh kesah dan curahan hati SBY kadang lebih menarik disoroti ketimbang menyikapi tapal batas NKRI yang tak kunjung berakhir.
Tapi, rasanya kok tidak adil ya jika akhirnya pemimpin yang terlahir dari hasil pemilihan langsung dan katanya ‘pemimpin pilihan rakyat’ hanya disibukkan dengan ‘baliho’ (Persetan dengan janji-janji saat kampanye dulu)
Dan yang paling bahaya dari strategi politik pencitraan adalah hanya menampakkan permukaannya saja. Keberhasilah program dari rezim pemerintahan pencitraan tak ubahnya seperti fatamorgana yang menggiurkan saat dipandang namun semu hakikatnya.
Coba bayangkan, berapa kali penderitaan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat sistem pemilihan pemimpin yang carut-marut seperti yg ada saat ini.
Pepatah "sudah jatuh ketiban tangga pula" rasanya tidak cukup untuk menggambarkan penderitaan akibat sistem pemilihan pemimpin yang tidak karu-karuan ini.
Pada saat tahapan sosialisasi berlangsung misalnya, mulai dari saat keluar rumah, menunggu di halte, hingga sepanjang rute jalan yang dilalui angkutan umum pun nyaris hanya baliho yang menjadi pemandangan. Sejauh mata memandang hanya baliho dan senyum (seringai) kemunafikan yang terlihat.
Saat masa pendaftaran bakal calon, berbagai kebodohan dan pembodohan pun dipertontonkan oleh calon pemimpin untuk dapat menarik simpati ‘tuhan’. Apa coba nilai-nilai demokrasi yang coba disampaikan saat balon mendaftarkan diri dengan mengayuh atau menaiki becak ke KPU?
Memasuki masa kampanye, janji-janji manis nan menggiurkan pun membahana sampai-sampai kita pun merasa bingung menentukan pilihan, semuanya (nampak) baik dan meyakinkan. Mulai dari slogan ‘gratis’, label ‘murah’, ataupun iming-iming dana swadaya desa yang jumlahnya mencapai milyaran rupiah (makin tidak realistis-kan?), rakyat bingung.
Oknum yang merasa terancam bakal ‘mati suri’ selama lima tahun ke depan jika jagoannya kalah pun tidak akan tinggal diam, Rakyat lah yang kembali diperalat dan diprovokasi agar mengamuk, membakar, bahkan membunuh bila perlu !Jika oknum yang kalah mungkin khawatir dapurnya tidak lagi ‘ngebul’, maka oknum yang menang minimal akan ‘kecipratan’ sebagai ungkapan balas jasanya telah dibantu curang untuk menang.
Para penentangnya saat pemilihan pun akan dibidik satu persatu, mulai dari di non-job-kan, dimutasi, bahkan bila perlu diberikan ‘lahan kering’. Intinya, sebisa mungkin kariernya harus dimatikan selama ia berkuasa.
Nahasnya, setelah menjadi ‘orang nomor satu’, rakyat yang notabene adalah ‘tuhan kecil’ yang mengangkat mereka duduk di atas kursi empuknya ternyata tak punya daya apalagi kuasa untuk menagih janji-janji tersebut, boro-boro menurunkan mereka.
Lantas dimana letak dan alasan elit negeri Gondoruwo ini mempertahankan sistem yang amburadul tersebut? Toh, ujung-ujungnya kalau bukan balas jasa kan balas dendam?
Semoga di Bima tercinta tidak terjadi hal yang sama..,??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar